Rabu, 26 September 2012


Alhamdulillah akhirnya.......bisa di akses lagi blog ini......

Minggu, 27 Maret 2011

TAQWA

“TAQWA”

Taqwa berasal dari perkataan waqa-yaqi-wiqoyah yang artinya memelihara .
Hujahnya ialah ayat Al Quran seperti berikut:

" Yaayyuhallazi naamanu quamfusakum waahlikum nara."

Maksudnya:

"Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu memelihara diri kamu dan keluarga kamu dari api Neraka." (At Tahrim: 6)

Taqwa artinya adalah

- Mengetahui dengan akal dan memahami keberadaan Allah & melakukan perbuatan sesuai dengan aturan Allah SWT.

- Rasa Takut akan melanggar perintah Allah SWT.

- Berani menegakkan syariat-syariat islam & takut melanggarnya.

- Berhati-hati & meninggalkan yang tidak berguna.

Taqwa merupakan buah dari agama

TANDA-TANDA TAQWA

Allah SWT berfirman dalam Surat Ali’Imran Ayat 133:

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu (Allah SWT) dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang taqwa (muttaqin).
Selanjutnya Allah SWT menguraikan tanda-tanda orang yang taqwa, dalam Surat Ali’Imran Ayat 134:

(yaitu) Orang-orang yang berinfaq (karena Allah SWT), baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mereka yang pemaaf terhadap (kesalahan) manusia. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Allah SWT telah menjabarkan berbagai ciri-ciri orang yang benar-benar taqwa. Mereka menafkahkan rizkinya di jalan Allah SWT dalam keadaan lapang maupun sempit. Dengan kata lain, jika mereka memiliki uang seribu dollar diinfaqkannya paling tidak satu dollar, dan jika hanya memiliki seribu sen mereka infaqkan satu sen.

Aisyah RA sekali waktu pernah menginfaqkan sebutir anggur karena pada waktu itu ia tidak memiliki apa-apa lagi. Beberapa muhsinin (orang yang selalu berbuat baik) menginfaqkan sebutir bawang.

Nabi Muhammad SAW bersabda: “ Selamatkanlah dirimu dari api nereka dengan berinfaq, meskipun hanya dengan sebutir kurma. (Bukhari & Muslim).


Allah SWT menyatakan bahwa tanda ketaqwaan mukmin yang ke-dua ialah mereka dapat mengendalikan amarah.

Tanda ke-tiga, selain mengendalikan amarah mereka juga memaafkan kesalahan orang lain dengan sepenuh hati.

Terakhir (ke-empat), yang tidak kalah pentingnya, mereka bersikap baik terhadap sesama manusia.

Ketika Imam Baihaqi RA menjelaskan ayat ini, ia mengisahkan sebuah peristiwa. Dikatakannya, “Suatu ketika Ali bin Hussain RA sedang berwudhu dan pelayannya yang menuangkan air ke tangannya menggunakan bejana. Bejana terlepas dari pegangan pelayan itu dan jatuh mengenai Ali. Sang pelayan menangkap kekecewaan di wajah Ali. Dengan cerdiknya sang pelayan membaca ayat diatas kata demi kata. Ketika sampai pada kalimat ‘orang yang taqwa mengendalikan amarahnya’ Ali RA menelan amarahnya. Ketika sampai pada ‘mereka memaafkan orang lain’ Ali RA berkata, “Aku memaafkanmu” Dan ketika dibacakan bahwa Allah SWT mencintai mereka yang bersikap baik kepada orang yang melakukan kesalahan, Ali memerdekakannya.

Marilah terlebih dahulu kita coba memahami apakah itu Taqwa.

Taqwa memiliki tiga tingkatan.

Pertama : Ketika seseorang melepaskan diri dari kekafiran dan mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah, dia disebut orang yang taqwa.

Kedua: Semua orang beriman tergolong taqwa meskipun mereka masih terlibat beberapa dosa. Jika seseorang menjauhi segala hal yang tidak disukai Allah SWT dan RasulNya (SAW), ia memiliki tingkat taqwa yang lebih tinggi.

Ketiga : orang yang setiap saat selalu berupaya menggapai cinta Allah SWT, ia memiliki tingkat taqwa yang lebih tinggi lagi.

Allah SWT menjelaskan dalam Surat Ali’Imran Ayat 102:

Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya, dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim (beragama Islam)

Diriwayatkan dari sebagian hukama rahimakumullah sebagai berikut :

"Di hadapan taqwa ada lima jalan (tahapan), siapa yang berhasil melewati seluruhnya, maka ia akan memperoleh hakikat taqwa (taqwa yang sebenarnya), yaitu : Pertama, memilih kesukaran atas kenikmatan. Kedua, memilih kesungguhan atas kebebasan. Ketiga, memilih kelemahan atas keperkasaan. Keempat, memilih diam atas bicara yang tidak ada manfaatnya. Kelima, memilih maut atas kehidupan."

Di hadapan taqwa terbentang lima jalan atau tahapan-tahapan, seperti halnya jalan-jalan untuk menuju puncak bukit/gunung. Barangsiapa yang dapat melaluinya maka ia akan memperoleh hakikat dari ketaqwaan itu. Dan lima jalan atau tahapan itu adalah :

1. Memilih kesukaran atas kenikmatan

Yaitu dengan cara memilih beban untuk beribadah dan meninggalkan segala sesuatu yang menyenangkan.

2. Memilih kesungguhan atas kebebasan

Maksudnya adalah sungguh-sungguh dalam beribadah dengan cara meninggalkan kebebasan (kesenangan) yang ada di dunia ini.

3. Memilih kelemahan atas keperkasaan

Yaitu memilih untuk bersikap tawadhu (merendahkan diri) dalam keseharian hidupnya.

4. Memilih diam atas banyak bicara

Yaitu meninggalkan ucapan-ucapan yang tidak ada manfaatnya atau yang tidak mengandung kebaikan didalamnya.

5. Memilih maut atas kehidupan

Menurut pandangan hukama, yang dimaksud maut disini adalah mengekang keinginan nafsu. Barangsiapa yang keinginan nafsunya mati, maka ia akan hidup.

Banyak sekali keuntungan orang yang bertaqwa :

1. Mereka akan mendapatkan pejagaan dari ALLAH SWT,ALLAH berkata: “Bertaqwalah kalian sesungguhnya ALLAH selalu bersama orang-orang yang bertaqwa” {Al Baqarah 194}

2. Akan mendapatkan ilmu yang tanpa dia sadari,sepeti dalam Firman ALLA SWT : “Bertaqwalah kepada ALLAH SWT,ALLAH mengajarimu” {Al Baqarah 282}.

3. Mendapat kedudukan mulia disisi Allah SWT : “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu”.{Al Hujuraat 13} jadi dapat kita fahami bahwa bukanlah kemulian itu dengan nasabnya ataupun dengan hartanya tapi kemuliaan yang sesungguhnya adalah apa bila manusia tersebut bisa benar-benar bertaqwa
ALLAH megatakan : “dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.”{Ali ‘Imran 102} Mudah-mudahan ALLAH SWT memberikan kita hidayah taufiknya agar kita bisa selalu bertaqwa dan dimatikan kita dalam keadaan islam AMIN YA ROBBALALAMIN

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takwa itu terletak di sini”, sambil beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk ke dada/hati beliau tiga kali[1].

Di sinilah letak sulitnya merealisasikan takwa yang hakiki, kecuali bagi orang-orang yang dimudahkan oleh Allah Ta’ala, karena kalau anggota badan mudah kita kuasai dan tampakkan amal baik padanya, maka tidak demikian keadaan hati, sebab hati manusia tidak ada seorangpun yang mampu menguasainya kecuali Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ

“Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi (menghalangi) antara manusia dan hatinya.” (Qs. al-Anfaal: 24)

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya semua hati manusia berada di antara dua jari dari jari-jari ar-Rahman (Allah Ta’ala), seperti hati yang satu, yang Dia akan membolak-balikkan hati tersebut sesuai dengan kehendak-Nya”, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa: “Wahai Allah Yang membolak-balikkan hati (manusia), palingkanlah hati kami untuk (selalu) taat kepad-Mu.” [2]

Takwa yang Hakiki

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya seorang hamba hanyalah mampu melalui tahapan-tahapan perjalanan menuju (ridha) Allah dengan hati dan keinginannya yang kuat, bukan (cuma sekedar) dengan (perbuatan) anggota badannya. Dan takwa yang hakiki adalah takwa (dalam) hati dan bukan takwa (pada) anggota badan (saja). Allah Ta’ala berfirman,

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

“Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar (perintah dan larangan) Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan (dalam) hati.” (Qs. al-Hajj: 32)

(Dalam ayat lain) Allah berfirman,

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (Qs. al-Hajj: 32)

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

التقوى ههنا. ويشير إلى صدره ثلاث مرات.

“Takwa itu (terletak) di sini”, dan beliau menunjuk ke dada (hati) beliau tiga kali[3], …[4]

Imam an-Nawawi ketika menjelaskan makna hadits di atas, beliau berkata, “Artinya: Sesungguhnya amalan perbuatan yang tampak (pada anggota badan) tidaklah (mesti) menunjukkan adanya takwa (yang hakiki pada diri seseorang). Akan tetapi, takwa (yang sebenarnya) terwujud pada apa yang terdapat dalam hati (manusia), berupa pengagungan, ketakutan dan (selalu) merasakan pengawasan Allah Ta’ala.”[5]

Makna takwa yang hakiki di atas sangatlah jelas, karena amal perbuatan yang tampak pada anggota badan manusia tidak mesti ditujukan untuk mencari ridha Allah Ta’ala semata. Lihatlah misalnya orang-orang munafik di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menampakkan Islam secara lahir, dengan tujuan untuk melindungi diri mereka dari kaum muslimin, padahal dalam hati mereka tersimpan kekafiran dan kebencian yang besar terhadap agama Islam. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاؤُونَ النَّاسَ وَلا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلاً

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah membalas tipu daya mereka, dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas-malasan, mereka bermaksud riya’/pamer (dengan shalat) di hadapan manusia, dan tidaklah mereka menyebut nama Allah kecuali sedikit sekali.” (Qs. An-Nisaa’: 142)

Demikianlah keadaan manusia dalam mengamalkan agama Islam secara lahir, tidak semua bertujuan untuk mencari ridha-Nya. Bahkan di antara mereka ada yang mengamalkan Islam hanya ketika dirasakan ada manfaat pribadi bagi dirinya, dan ketika dirasakan tidak ada manfaatnya maka dia langsung berpaling dari agama Islam.

Mereka inilah yang dimaksud dalam firman Allah Ta’ala,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ

“Dan di antara manusia ada orang yang beribadah kepada Allah dengan berada di tepi (untuk memuaskan kepentingan pribadi), jika mendapatkan kebaikan (untuk dirinya), dia akan senang, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana/hilangnya nikmat, berbaliklah ia ke belakang (berpaling dari agama). Rugilah dia di dunia dan akhirat, yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (Qs. al-Hajj: 11)

Artinya: Dia masuk ke dalam agama Islam pada tepinya (tidak sepenuhnya), kalau dia mendapatkan apa yang diinginkannya maka dia akan bertahan, tapi kalau tidak didapatkannya maka dia akan berpaling[6].

Kiat untuk Mencapai Takwa yang Hakiki

Berdasarkan keterangan para ulama ahlus sunnah, satu-satu cara untuk mewujudkan ketakwaan dalam hati, setelah berdoa kepada Allah Ta’ala, adalah dengan melakukan tazkiyatun nufus (pensucian jiwa/pembersihan hati), karena ketakwaan kepada Allah Ta’ala yang sebenarnya (ketakwaan dalam hati) tidak akan mungkin dicapai kecuali dengan berusaha mensucikan dan membersihkan jiwa dari kotoran-kotoran yang menghalangi seorang hamba untuk dekat kepada Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala Menjelaskan hal ini dalam firman-Nya,

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاها قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا

“Dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan, Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu (dengan ketakwaan), dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (dengan kefasikan).” (Qs. Asy Syams: 7-10)

Demikian juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam doa beliau, “Ya Allah, anugerahkanlah kepada jiwaku ketakwaannya, dan sucikanlah jiwaku (dengan ketakwaan itu), Engkau-lah Sebaik-baik Yang Mensucikannya, (dan) Engkau-lah Yang Menjaga serta Melindunginya.” [11]

Imam Maimun bin Mihran[12] berkata, “Seorang hamba tidak akan mencapai takwa (yang hakiki) sehingga dia melakukan muhasabatun nafsi (introspeksi terhadap keinginan jiwa untuk mencapai kesucian jiwa) yang lebih ketat daripada seorang pedagang yang selalu mengawasi sekutu dagangnya (dalam masalah keuntungan dagang). Oleh karena itu ada yang mengatakan bahwa jiwa manusia itu ibaratnya seperti sekutu dagang yang suka berkhianat. Kalau Anda tidak selalu mengawasinya, dia akan pergi membawa hartamu (sebagaimana jiwa akan pergi membawa agamamu)”[13]

By : Puji Rahayu N.

Rabu, 24 November 2010

hemmmm

akhirnya bisa masuk lagi

Minggu, 31 Januari 2010

RME

Gambaran dari Realistic mathematics Education (RME)

Margaret R. Mayer

Artikel ini akan menjelaskan sebuah teori pembelajaran dan pengajaran matematika dan menunjukkan bagaimana mempresentasikan aljabar di sekolah menengah yang menguatkan perkembangan dalam sebuah rangkaian dasar pelajaran di teori ini. Teori Realistic mathematics Education (RME) ini dikembangkan lebih dari 30 tahun. RME menggambarkan sebuah sejarah yang berangkat dari ide tradisional tentang pembelajaran dan pengajaran yang dapat dengan baik memberi gambaran dengan contoh dari ilustrasi dasarnya.

PRINSIP DARI REALISTIC MATHETATICS EDUCATION (RME)

RME didasarakan dari 5 hubungan dasar pembelajaran dan pengajaran. Perumusan dari semua prinsip ini di gambarkan sebuah perpaduan dari pernyataan beberapa nara sumber (de lange 1987, 1992, Treffers 1991). Lima prinsip tersebuat adalah:

  1. Pembelajaran matematika adalah sebuah aktivitas kontruktif, salah satu yang membedakan bagaimana siswa menyerap pengetahuan yang dikenalkan atau dipublikasikan. Seperti mengkontruksi menjadi mungkin ketika dimulai dari rangkaian pengajaran yaitu pengalaman nyata dari siswa dan membolehkan mereka untuk terlibat langsung dalam aktivitas matematika yang bermakna.
  2. Pembelajaran dari sebuah konsep atau keahlian yang penyelesaiannya membutuhkan waktu yang lebih lama dan melalui beberapa level yang berbeda dari abstraksi. Awalnya, aktivitas matematika sehari-hari akan membentuk sebuah dasar kongkrit dimana siswa dapat mengabstrak dan menambah kontruksi konsep matematika. Siswa mempertemukan diantara sesuatu yang kongkrit dan menambah abstraksi level melalui kreasi mereka dan menggunakan model, gambar, diagram, tabel dan notasi simbol.
  3. Pembelajaran matematika siswa dan proses mengukur pemahaman melalui refleksi pemikiran mereka sendiri. Siswa harus memiliki kesempatan dalam mengeritik secara langsung apa yang telah dipelajari dan mengantisipasi dimana urutan awal pembelajaran.
  4. Pembelajaran tidak hanya berlangsung terisolasi tetapi lebih pada konsep sosial. Konsekuensinya, interaksi akan menjadi komponen penting dari pengajaran. Aktivitas pengajaran akan mendorong siswa untuk merefleksi, menjelaskan dan memberikan solusi, untuk mengetahui solusi siswa lainnya, agar setuju dan tidak setuju satu sama lain dan untuk pertanyaan alternatif.
  5. Pemahaman matematika adalah tersruktur dan saling berhubungan. Pada fenomena sesungguhnya, dalam struktur dan konsep matematika menunjukkan diri mereka sendiri, dan biasanya matematika terdiri dari berbagai disiplin. Jadi hasilnya pelajaran akan terjalin bukan secara mandiri.

ASSalamualaikum wr...wb...

Alhamdulillah...
akhirnya bisa muncul juga
eits,,... ups ada yang masuk...
salam kenal y ...